Di balik Bilik Itu Ada Cinta
Suara sepatu yang beradu dengan lantai
membangunkanku dari lelapku. Mataku terbuka perlahan, sesekali mengerjap.
Mencoba menangkap bising-bising di luar bilik ini. Tidur di lantai beralaskan
selimut hello kitty berwarna pink ditambah dinginnya udara dari AC membuat
tubuhku enggan beranjak. Tanganku meraih handphone yang berada di bawah bantal,
menyalakannya, ternyata masih jam setengah 1 dini hari. Rasa kantuk yang
berlebih membuat kelopak mata ini turun lagi, ingin terlelap kembali. Tidak
berselang lama bising-bising itu berubah menjadi teriakan.
“Code blue!”
“Code blue hey, code blue!”
“Code blue, code blue!”
Lalu berpasang-pasang sepatu itu
mondar-mandir di ruangan ini. Menambah bisingnya suasana dengan riuh warna
suara yang meneriakkan “Code blue”. Pikirku ini di alam mimpi, namun mendengar
suara ini sangat nyata membuat aku terhenyak dari lelap lalu duduk bersila
dengan perasaan tegang. Ternyata suara itu berasal dari bilik di depanku yang
berisi sepasang suami istri sepuh. Istrinya yang terbaring di kasur karena
penyakit diabetes yang sudah merambat sampai ginjal. Terpasang juga ventilator
di mulut beliau karena napasnya yang sudah sesak.
Jantungku semakin berdegup kencang dan
pelupuk mataku sudah penuh dengan airmata. Situasi ini sangat mencemaskan.
Sambil merapalkan doa untuk nenek itu, aku searching di handphone pengertian
“Code blue”. Betapa terkejutnya aku saat membaca, ternyata code blue adalah
keadaan dimana seseorang mengalami henti jantung. Dengan kata lain, jantungnya
berhenti berdetak. Aku mengamati semua pergerakan dokter dan suster dari
pantulan lantai keramik. Kebetulan bilik ini gordennya tidak menjuntai sampai
lantai sehingga aku bisa melihat semuanya.
Sepertinya ada dua dokter yang menangani
nenek itu, sedangkan untuk susternya, hampir semua suster yang berjaga shift
malam ikut menangani. Aku berusaha untuk tidak membuat suara sedikitpun. Lalu
tangan Mama mengelus kepalaku, menyuruhku untuk tidur kembali. Dari sorot mata
Mama aku bisa menangkap bahwa beliau juga syok dan berusaha menahan airmata.
Dielusnya lagi kepalaku dan digenggamnya erat tanganku oleh Mama. Beliau
menyuruhku untuk tidur kembali. Namun aku tidak bisa, jantungku berdegup
kencang dan mataku sudah memanas ingin menangis.
Ditengah kepanikan itu, ada suara lembut
yang menjelaskan sekaligus menakutkan berbicara kepada kakek itu.
“Pak, ini istri bapak mengalami henti
jantung. Dokter akan melakukan kejut jantung. Semoga ada hasilnya ya, pak.
Bapak banyak-banyak berdoa ya, pak”.
“Baik, sus”.
Tidak berselang lama, terdengar suara alat
kejut jantung selama beberapa kali. Tetapi layar monitor tetap berbunyi
monoton. Lalu dokter berteriak meminta obat yang aku tidak tahu apa itu.
Pokoknya obat. Dalam kekalutan suster mencoba mengulang nama obat itu. Kudengar
juga rintihan doa sang kakek kepada Tuhan agar istrinya diberi mukjizat
keselamatan. Aku terus beristighfar dalam hati dan berdoa agar nenek itu bisa
selamat. Walaupun baru semalam di ruangan ini, tetapi sepasang suami istri itu
sudah seperti kakek dan nenek kandungku. Apalagi nenek itu, kurus badannya,
perawakannya, mirip seperti buyutku.
Hampir setengah jam berlalu. Dokter dan
suster sudah berusaha sekuat tenaga agar
jantung nenek itu kembali berdetak. Namun sayang beribu sayang, salah satu
suster berujar kepada kakek
“Pak, dokter sudah melakukan kejut jantung
dan kami juga sudah memasukan obat tapi tidak ada hasilnya, pak. Jantung ibu
tidak ada pergerakan. Kami mohon maaf, turut berduka cita ya, pak”.
Aku menangis sejadi-jadinya. Rasanya hancur
sekali, melihat orang yang kita sayang berada dalam sakaratul maut dan akhirnya
maut pun memisahkan. Pasti perasaan kakek lebih hancur, tetapi beliau berusaha
tegar. Beliau langsung menelepon keluarga dan kerabat dekatnya. Ditelepon
berkali-kali belum ada yang merespon, mungkin yang ditelepon sedang tidur.
Mengingat ini masih dini hari. Setelah berusaha semaksimal mungkin, akhirnya
ada yang menjawab telepon kakek. Aku bisa melihat dari suara kakek bahwa beliau
tegar sekali. Mencoba menjelaskan bahwa istrinya meninggal karena henti jantung
dan meninggal di jam sekian.
Sesuai prosedur rumah sakit, nenek itu
dikafani terlebih dahulu baru setelah dibawa pulang oleh keluarga bisa
dipakaikan baju, mengingat nenek dan kakek itu adalah Nasrani yang taat. Aku
bisa berkata demikian karena kalau malam hari, kakek selalu membacakan alkitab
kepada nenek, bernyanyi, dan berdoa agar Tuhan memberikan mukjizat kepada
istrinya. Namun Tuhan lebih sayang kepada nenek sehingga nenek harus berpulang
duluan. Meninggalkan kakek seorang diri.
Hari itu aku melihat cinta tanpa kata. Seorang
kakek yang selalu memberi semangat pada istrinya agar lekas pulih dari
penyakitnya. Seorang kakek yang selalu mengajak istrinya berdoa dan percaya
pada Tuhan bahwa akan ada mukjizat yang akan memulihkan istrinya. Seorang kakek
yang selalu mengajak istrinya bercerita walaupun istrinya tidak bisa berbicara
dengan leluasa karena ventilator menghalanginya. Aku yakin, nenek itu pasti
sangat bahagia memiliki pasangan yang setia sampai akhir hayatnya.
Malam itu aku belajar, bahwa cinta tidak
melulu harus berkata “Aku cinta”. Tetapi ketika percaya bahwa cinta ada, kita
akan berusaha lewat aksi nyata. Ketika kita cinta, kita akan memberi dan terus memberi
tanpa mengharap balas. Dan tentang cinta sejati, sejatinya tidak ada yang abadi
karena diri ini milik Allah Subhanahu Wata’ala. Dari kakek itu, beliau
mencintai istrinya, bahkan ketika istrinya berpulang, beliau tetap cinta yaitu
dengan mengikhlaskannya dan tetap tegar menerima.
28 Juni 2021,
Tulip 3303.

Komentar
Posting Komentar